Sabtu, 21 Mei 2011

Indahnya Kebersamaan



Hari Sabtu sekitar pukul 10.30 Wita, di dalam kelas seharusnya saya menjelaskan materi Sejarah Nasional di kelas XI, sebelum selesai memanggil siswa melalui absent, siswa atas nama Surat ternyata tidak dapat mengikuti pelajaran sebagaimana biasanya. Ketika saya siswa lainnya, dijawab kalau siswa tersebut dalam keadaan kurang sehat. Sudah berapa lama dia tidak masuk, tanya saya lagi, lebih satu minggu, begitu jawab mereka.
Saya pun meng-iyakan dan maklum. Setelah bincang-bincang, salah seorang siswa berkomentar, kita harus jenguk Suratman, Pak. Saya bilang, minta izin dulu, kalau diizinkan, bisa saja kita ke rumahnya. Dua orang siswa keluar untuk meminta izin, dan dizinkan pihak sekolah.
Tak terlalu banyak hal yang special atau halangan selama di perjalanan menuju rumah si sakit. Tidak memakan waktu hingga satu jam dengan jalan kaki untuk menuju rumah yang berada di gubuk kecil dan perbukitan tersebut. Flora alami yang telihat jelas, sejuk, indah, dan desiran angina sepoi yang menemani besuk salah seorang siswa tersebut.
Selayaknya tamu yang sedang berkunjung, kami disambut oleh orang tua setengah tua. Iya, saya ibunya Suratman, katanya, silakan duduk. Suratman sakit, dia Bisul, makanya tidak bisa sekolah. Tempat tinggal yang dihuni oleh siswa tersebut masih alami. Hijaunya pemandangan sekitar rumah tersebut seolah membuat kita merasa sungkan untuk meninggalkannya terlalu cepat.
Suratman yang masih menggunakan sarung dengan warna hijau dan baju putih tersebut, memang sakit, namun sudah agak baik, terlihat hanya cara jalannya saja yang terlihat sedikit Disko karena penyakit bisulnya. Dengan terseok-seok dia menghampiri teman sekelasnya itu untuk sesekali bercanda tawa.
Rumah yang huni lima bersaudara tersebut masih beratapkan alang-alang. Maklum, dia tinggal di gubuk kecil, perbukitan, dan masih menggunakan lampu tempel. Hanya saja terdapat hal yang menarik di kawasan tempat tinggal Suratman dan keluarganya. Di sebelah kanan halaman rumah terdapat Kran Air dengan selang sekitar satu meter yang masih dalam gulungan. Setelah ditelurusi dan ditanya lebih jauh, keluarga menggunakan Mesin Bor. Mereka hanya mengeluarkan uang lima belas ribu rupiah setiap bulannya untuk biaya bensin mesin.  Siapa sangka, walaupun hidup di bukit, sepi, jauh dari hiruk-pikuk tersebut, untuk kebutuhan air bersih mereka terjamin, begitu juga dengan pendidikannya.