Rabu, 27 Juli 2011

Struktur Organisasi Kecamatan Batulayar

Ni Ketut Seniarsi, disamping menjabat sebagai Kasubbag Umum dan Kepegawaian juga sebagai PLT Kepala Seksi Pemerintahan sejak ditinggal oleh Christoffel, S. SSTP

Selasa, 26 Juli 2011

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL dan KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL (Belajar menjadi seorang pemimpin yang bijak)

Aksi Demonstran
Kecamatan Batulayar kini memiliki sembilan desa, tiga diantaranya masih menjadi desa persiapan. Ketika berbicara desa, tentu sangat erat kaitannya dengan pemerintah. Pemerintah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pemimpin. Pemimpin merupakan bagian yang paling penting guna tercapainya tujuan yang diharapkan. Memakmurkan masyarakat tentunya. Untuk menggapai tujuan seperti kemakmuran misalnya, bukan suatu hal yang gampang.
Kalau kita perhatikan jenis kepemimpinan, menurut para ahli setidaknya terdapat dua gaya kepemimpinan, KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL dan KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL. Kedua jenis ini mempunyai cara pengertian yang berbeda, yang pada gilirannya akan mewujud dalam sistem dan praktik yang berbeda. Kepemimpinan transformasional adalah sebuah proses yang memotivasi orang dengan menarik cita-cita dan nilai moral yang lebih tinggi, mendefinisikan dan mengartikulasikan visi masa depan dan membentuk basis kredibilitas. Sebaliknya, kepemimpinan transaksional berdasarkan pada standar birokrasi dan organisasi.
Kasubbag Kepeg dan Sekcam
Perbedaan antara gaya kepemimpinan transfomasional dan transaksional dapat didefinisikan dengan menyebut gaya transformasional sebagai pemimpin inovasi dan gaya transaksional sebagai manajer perencanaan dan kebijakan. Pandagan lain adalah bahwa gaya transformasional mencipakan jalur baru dalam sebuah organisasi, sementara gaya transaksional tergantung pada struktur yang ada. Sedangkan gaya transaksional menggunakan kekuasaan dan kewewenangan yang telah ada pada organisasi, pemimpin transformasional memo¬tivasi orang untuk bekerja demi tujuan baru yang lebih besar dan menciptakan perubahan. Kepemimpinan transaksional sebaiknya berada pada jaringan kekuasaan; akan tetapi, kepemimpinan transformasional memberikan motivasi yang lebih tinggi dan menambahkan kualitas hidup pada orang dan organisasi. Kepemimpinan trasformasional memberikan karakteristik yang menghasilkan tenaga yang memicu perubahan baru bagi organisasi, yang tidak dapat di hasilkan manajemen transaksional. Pemimpin transformasional yang bagus mengunakan kewewenagan dan kekuasaan untuk memberikan semangat dan motivasi orang agar percaya dan mengikuti teladannya. Sebaliknya jika menggunakan gaya kepemimpinan yang bersifat transaksional.
Kantor Camat Batulayar
Dalam sebuah organisasi maupun birokrasi atau lembaga lainnya, gaya kepempinan-kepemimpinan tersebut kerap kali dipraktikkan, dengan imbasnya hanya kepada bawahan (anak buah). Suka-duka, pahit-manis, tidak mempengaruhi pemimpin. Asal perintah. Tak mengenal kondisi, sifat egois pun ditonjolkan. Seolah sebuah kesempatan ketika memegang tampuk kekuasaan. Tinggi hati, busungkan dada, dan ego-ego lainnya. Ketika berhadapan dengan gaya atau pemimpin seperti ini, seolah organisasi, birokrasi atau lembaga menjadi milik pribadi. Dengan bahasa yang sederhana, pemimpin yang menggunakan gaya transaksional mereka memimpin dengan menggunakan “Tirani”. Semoga kita dipimpin oleh orang-orang yang berkualitas, bijak, mengerti tugas dan tanggung jawab untuk mencapai kemakmuran.

Jumat, 22 Juli 2011

L’ amour West Pas Parce Que Mais Malgre

Ada suatu cerita Hindu yang menunjukkan bahwa cinta itu “WALAUPUN”, bukan “KARENA. Alkisah, seorang raja diminta untuk membawa mayat dari tempat penggantungan ke tempat pendeta. Di tengah jalan, mayat itu berkata, “Hai Raja, kasihan sekali Anda ini, jauh-jauh membawa saya. Supaya kau tidak lelah, bagaimana kalau saya bercerita?” Dan mayat itupun berkisah: Suatu ketika, hidup seorang pendeta bersama putrinya yang amat cantik. Satu hari, datang tiga orang pendeta yang semuanya berwajah tampan. Ketiganya berkata, “Kalau perempuan ini sampai kepada orang lain, tidak kepada saya, saya akan bunuh diri.”
Calon mertua itu kebingungan. Bila dia memberikan putrinya kepada salah satu dari pendeta itu, akan terjadi dua pembunuhan. Dalam keadaan bingung, tiba-tiba si gadis meninggal. Dibawalah gadis itu ke tempat pembakaran mayat. Masing-masing pendeta tampan yang mencintai gadis itu menunjukkan perilaku yang berbeda.
Pendeta yang pertama duduk di atas tempat bekas pembakaran mayat. Ia membuat gubuk dan menetap di sana terus-menerus. Ia tidak mau meninggalkan tempat itu. Tak henti-hentinya ia melantunkan doa pujian untuknya.
Pendeta yang kedua pergi ke sungai Gangga untuk meleburkan tulang belulang dalam rangka menyempurnakan kematiannya. Sesuai tradisi Hindu, seorang meleburkan tulang belulang orang tuanya yang meninggal sebagai tanda kecintaannya.
Adapun pendeta yang ketiga, ia berkelana, sampai ia akhirnya bertamu ke rumah keluarga seorang pendeta tua. Ketika ia dijamu makan oleh keluraga itu, anak si tuan rumah menangis keras. Ibunya marah. Dijewernya telinga anak itu dan dilemparkannya ke dalam api. Anak itu meninggal dan langsung menjadi debu. Pendeta berkata, “Aku tidak mau makan di sini. Kalian bukan pendeta. Kalian durjana. Manusia raksasa yang menyamar menjadi pendeta.” Orang tua itu berkata, “Jangan terburu nafsu.” Ia lalu masuk ke kamarnya untuk membawa kitab suci. Begitu kitab dibacakan, anak itu hidup lagi seperti sediakala. Barulah pendeta itu mau melanjutkan makannya. Pada malam hari, pendeta ketiga ini mencuri kitab suci tersebut untuk menghidupkan kembali kekasihnya.
Singkat cerita, ia sampai kepada tempat pembakaran mayat gadis tersebut. Ia datang bersamaan dengan pecinta kedua yang meleburkan tulang belulang ke sungai Gangga. Pendeta ketiga meminta pendeta pertama, yang mendirikan gubuk, untuk memindahkan gubuk itu dengan alasan ia tidak ingin gadis itu menabrak gubuk bila ia hidup kembali. Lalu, dibacakan doa dari kitab suci. Ndilalah Kersaning Allah, putri itu muncul kembali dan ia lebih cantik dari sebelumnya. Tak ubahnya sepotong emas yang baru disepuh dari pembakaran, lebih cemerlang dan indah.
Tentulah ketiga pendeta itu bahagia. Tapi, semua lalu merasa dirinya yang paling berhak untuk menikahi gadis itu. Pendeta pertama berkata, “Sayalah yang menungguinya siang malam seraya melantunkan doa pujian untuknya.” Pendeta kedua berujar, “Sayalah yang meleburkan tulang belulangnya di Gangga.” Sementara pendeta ketiga berdalih, “Sayalah yang membacakan doa hingga dia hidup kembali.”
Sampai di sini, mayat pendongeng di atas menghentikan ceritanya. Lalu ia berkata kepada raja yang membawanya, “Wahai Raja, tolong beri penjelasan kepada saya, siapakah diantara ketiga orang itu yang berhak menjadi suaminya? Kalau kau tidak bisa menjawab, aku akan patahkan lehermu. ”Raja menjawab, “Pendeta ketiga yang menghidupkan kembali berada dalam posisi bapak. Pendeta kedua, yang meleburkan tulang di Gangga, telah melakukan suatu pengabdian. Karena itu, dia lebih pantas menjadi anaknya. Yang lebih berhak menjadi suaminya adalah pendeta pertama yang terus menerus berada di tempat pembakaran mayatnya. Ia tetap mencintai gadis itu walaupun ia sudah menjadi debu, walaupun ia sudah tidak bisa melihat lagi senyumannya, walaupun ia tidak bisa mendengar lagi suaranya. Ia tetap menunggu ditempat itu sampai kapan pun.”
Itulah cinta sebenarnya, cinta “walaupun” bukan cinta “karena” atau L’ amour West Pas Parce Que Mais Malgre