Minggu, 12 Juli 2015

PANTAUAN MUDIK DI DAERAH BATULAYAR

Perjalanan hidup manusia merupakan bagian dari misteri. Dimana ia akan menapaki, menjalani hidup bahkan meninggalkan kehidupan masih menjadi pertanyaan yang hingga kini sulit untuk dijawab. Dari situlah muncul istilah yang kebanyakan orang mengenal nama transmigrasi, emigrasi, urbanisasi dan istilah-istilah lain yang dikenal. Istilah-istilah tersebut jika harus merujuk kepada referensi, merupakan arus yang kepindahan manusia dari satu tempat ke tempat yang lain. Adapun tujuan dari semua itu adalah beragam alasan yang ditemukan jika harus mengurus mereka secara detail. Maskud dan tujuan dengan pikiran dan alur yang berbeda menjadi salah satu alasan yang tak terbantahkan.

Perpindahan terbagi menjadi dua kategori, menetap dan tidak menetap. Kedua istilah ini sering ditemukan dalam rangka dan tipikal masing-masing masyarakat. Dari perpindahan sedikit bergeser ke istilah mudik atau pulang kampung. Mudik atau pulang kampung, awalnya dikenal di luar daerah dan kebanyakan dilakukan oleh mereka yang tinggal dan berdomisili di luar tanah kelahiran aslinya. Misalnya, Si A berasal dari Jawa, karena nasib si A terdampar di Lombok, menikah dan beranak pinak. Kerinduan kepada keluarga yang ada di Jawa membawa si A untuk berpemikiran untuk kembali dan mengunjungi sanak famili yang berada di daerah asalnya. Istilah tersebut yang dinamakan dengan mudik tersebut ramai dan ngetrend terjadi pada hari-hari besar Islam seperti lebaran sekarang ini.
Batulayar sebagai daerah Pariwisata tentu dipenuhi dan dipadati oleh berbagai ras dan suku yang berasal dari berbagai daerah, bahkan negara di dunia. Potensi yang demikian memengaruhi iklim dan budaya yang ada di sekitar Batulayar. Persebaran mereka di berbagai tempat, daerah, menjadi diaspora yang kemudian ditampung dalam sebuah komunitas tinggal seperti di perkotaan, perdesaan, perkampungan dan mereka yang hinggap di perumahan-perumahan alias BTN.
Menjelang lebaran seperti sekarang ini, trend mudik menjadi headline berbagai media. Pantauan di Batulayar mengindikasikan pemudik di Batulayar, di satu sisi merupakan pengorbanan yang tidak kecil. Salah seperti yang diceritakan oleh Sumiyem Cendrakasih, mudik ke Yogyakarta minimal membutuhkan 25 juta baru niat mengunjungi keluarga yang ada di daerah asal terpenuhi. Pasalnya, sanak famili yang menunggu di daerah Jawa tentu mengharapkan buah tangan, belum lagi biaya selama perjalanan, transportasi dan akomodasi yang nilainya terus meroket.
Kalau tidak memiliki 25 juta saya tidak berani pulang, Mas. Itupun minimal. Jangan heran, kalau orang yang tidak banyak memiliki modal tidak berani mudik apalagi untuk tiap tahun, demikian urai Sumiyem. Sumiyem merincikan, biaya perjalanan saja tak kurang dari 10 juta yang dihabiskan untuk transportasi, belum yang lainnya. Berbeda dengan cerita Sahrudin, yang mengatakan  bahwa di daerah BTN Puncang Hijau, hanya beberapa orang saja dari pendatang yang pulang kampung, selebihnya masih tinggal dan menunggu lebaran di tempat perantauan.
Hampir semua perumahan atau BTN yang ada di seputaran Batulayar, menurut pengamatan sementara, jika dipersentasekan, dari 100 persen penduduk yang tinggal, sekitar 10 atau 15 persen masyarakat yang mudik atau pulang kampung untuk berlebaran di daerah kelahirannya.