Selasa, 10 Juni 2014

MEDAK API; TRADISI SASAK YANG MASIH LESTARI

Di tengah perkembangan zaman yang serba modern dan instant sekarang ini dan ditambah dengan pengaruh arus budaya yang hampir tak terbendung, masih ditemukan budaya dan tradisi Sasak yang masih hidup dan dijalankan hingga sekarang ini. Memang dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berpengaruh terhadap kelenturan budaya, khususnya budaya Sasak. Jika dicermati sebenarnya masing-masing daerah memiliki budaya dan tradisi yang kental dan menjadi khas mereka. Namun, lagi-lagi karena perkembangan zaman kadang menuntut budaya semakin terkikis bahkan sudah dilupakan.

Tradisi yang masih lestari di Gumi Sasak adalah tradisi Medak Api. Sesungguhnya bagi masyarakat Sasak khususnya, istilah Medak Api bukan masalah asing khususnya di daerah-daerah perdesaan. Medak Api ini merupakan ritual dimana bayi akan diberikan nama setelah tujuh atau Sembilan hari dilahirkan. Atau yang menjadi ukuran proses pemberian nama adalah putusnya tali pusar bayi. Tradisi ini tidak sembarang dilakukan kecuali oleh para ahli, seperti dukun beranak yang mampu dan bisa melakukan ritual ini.

Inak Umrah salah satu dukun beranak yang ada di Dusun Senteluk Daye Desa Senteluk Kecamatan Batulaya Lombok Barat tak lupa melakukan ritual Medak Api jika akan menamakan bayi. Pernak-pernik Medak Api ini pun tak semudah yang dibayangkan alias membutuhkan ketelatenan. Menurutnya, ilmu dukun beranak ini ia peroleh secara turun-temurun. Berikut beberapa tahapan dan bahan yang diperlukan untuk melakukan proses Medak Api.

1.    Satu buah Kelapa Tua

Kelapa ini diparut dicampur dengan kunyit yang selanjutnya dijadikan sebagai alat keramas. Orang yang boleh melakukan keramas yaitu; dukun, ibu melahirkan, dan orang-orang yang terlibat atau membantu proses melahirkan. Tujuannya adalah agar orang terlibat atau membantu tersebut terhindar dari rabun. Orang yang mengerti tentang hal tersebut mendatangi dukun untuk meminta keramas.

2.    Kunyit

Merupakan campuran dari parutan kelapa yang agar berwarna kuning. 

3.    Kulit Kelapa

Kulit Kelapa yang kering tersebut selanjutnya dibakar dan asapya dibiarkan. Di atas asap kemudian bayi diayun lalu diputar oleh dukun sebanyak Sembilan kali sebelum proses pemberian nama bayi.

4.    Benang Warna Hitam dan Putih

Sebelum pemberian nama alias Sembe’ dalam bahasa Sasak, kedua benang tersebut dipintal rapi oleh Dukun Beranak untuk dijadikan gelang yang dipakaikan pada kedua pergelangan tangan bayi, pergelangan kaki dan pinggang bayi. Setelah proses pemakaian gelang baru bayi diberi nama sesuai dengan yang kehendaki. Caranya adalah dengan menggunakan tanda atau Sembe’ dikening bayi. Adapun Pintalan benang yang telah dibuat oleh dukun tersebut dipakaikan pula kepada ibu bayi yang baru melahirkan tersebut. Tujuannya adalah untuk menghindarkan bayi dari hal-hal buruk. Benang yang dipintal tersebut tidak boleh diputus kecuali dengan sendirinya. Yang terakhir adalah memijat kaki ibu bayi melahirkan dengan keramas parutan Kelapa agar terhidar dari penyakit seperi Varises.

Berikut ini merupakan tradisi budaya leluhur yang masih ditemukan khususnya pada kalangan Adat Sasak. Meski demikian, maish banyak orang mengganggap hal tersebut merupakan hal yang berbau mistik dan bertentangan dengan ajaran agama. Lagi-lagi ini merupakan budaya yang perlu dan diketahui oleh anak cucu kita nanti.