Kata Chef mungkin tak asing di telinga orang
zaman sekarang. Mungkin hanya sedikit orang yang tidak paham dengan kata Chef
tersebut. Anak yang masih berpendidikan rendah, atau bahkan orang-orang tua
yang terbelakang, jauh dari keramaian, tidak pernah bersekolah yang tidak
mengerti ketika menyebut kata “Chef”.
Pemahaman masyarakat Sasak Lombok, ketika
menyebut kata Ran berarti orang yang memiliki ilmu tentang masakan. Biasanya,
Ran digunakan dalam pesta-pesta atau begawe. Orang yang diberikan kepercayaan
menjadi Ran ini pun tidak sembarangan. Seorang Ran harus memiliki pemahaman
yang benar tentang bumbu masakan, ukuran, asam-garamnya sehingga boleh
dihidangkan. Lalu bagaimana dengan Chef?
Menurut pengamatan terbatas penulis, antara
Chef dan Ran memiliki persamaan dalam hal mengolah dan mengatur makanan. Ran
bertugas mengatur, memeriksa, mencicipi, bahkan sebagai hakim apakah makanan
itu layak dikonsumsi atau tidak. Sama halnya dengan Chef yang bertugas meracik
makanan dengan gaya mereka sendiri. Memang, makanan tak lepas dari rasa atau
lidah orang yang menikmati makanan. Namun, ada masyarakat yang fanatic terhadap
makanan, di saat itulah kadang Ran atau Chef dituntut. Di saat-saat tertentu,
orang bertanya, siapa Ran nya masakan tersebut?
Di zaman yang serba instan dan canggih
seperti sekarang ini, dan pada suku Sasak keberadaan Ran tidak boleh
disepelekan. Menariknya, untuk menjadi seorang Ran ini tidak didapat dari
jenjang pendidikan yang tinggi atau harus mengikuti kontes chef seperti yang
terlihat di Televisi. Menjadi seorang Ran dalam hal masakan merupakan ilmu yang
dipercayakan secara turun-temurun, tidak meski bersekolah. Orang tua,
kakek-nenek atau bahkan ada hubungan keluarga dan dipercaya oleh masyarakat.
Menjadi seorang Ran Masakan tidak gampang,
begitu juga dengan chef. Ada nilai-nilai dimana persamaan dan perbedaan antara
chef dan ran dipertemukan. Dalam hal meracik dan membuat makanan menjadi layak
dikonsumsi. Jadi, menjadi Ran dalam hal masakan sama seperti Chef yang biasa
dan kita saksikan di media.