Selasa, 22 April 2014

MENUAI RUPIAH DARI POHON AREN

Life is never flate, katanya orang barat, setuju atau tidak, memang begitulah kenyataannya.  Hidup memang tak pernah datar, hidup penuh lika liku, cobaan, hadangan dan rintangan pasti ada, seperti lagunya Dewa, “kadang tak seperti yang dimawu dan diharapkan “ sebaliknya, hidup dengan bahagia, segala kebutuhan dan fasilitas terpenuhi, mau itu, mau ini, bisa didapatkan, merupakan dambaan setiap orang, namun, percaya atau tidak hidup tak semudah itu, tak semudah membalikkan tangan. Akan tetapi, yang terpenting dalam hidup adalah bagaimana menjalaninya, dan bersyukur atas apa adanya, maka hidup akan terasa indah dan berjalan dengan baik.
Berbicara mengenai hidup, tak akan pernah terlepas dari berbicara mengenai permasalahan sosial ekonomi yang tak pernah habisnya, hal ini terkait dengan cara atau langkah bagaimana memenuhi kebutuhan ekonomi (economic needed). Garis besarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan hidup, baik kebutuhan yang bersifat primer (pokok) seperti halnya: kebutuhan akan makan-minum, tempat tinggal. Kebutuhan sekunder yakni kebutuhan Pelengkap setelah kebutuhan pokok terpenuhi. dan kebutuhan tersier yakni kebutuhan akan barang mewah, seperti: mobil, rumah besar atau wisata keluar negeri dsb.
Bagi golongan yang mempunyai penghasilan lebih atau masuk dalam kategori stratifikasi ekonomi menengah dan menengah ke atas, semua kebutuhan tersebut bisa terpenuhi, namun bagi Tuak Mali, jangankan kebutuhan sekunder dan tersier, memenuhi kebutuhan akan makan dan minumpun harus berjuang siang dan malam, profesinya yang dilakoninya sehari-hari sebagai Tukang Sadep Nao, yakni “mengambil air pohon aren dan mengolahnya menjadi gula merah” hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum bersama sanak familinya.
Di usianya yang kini mencapai 71 tahunan lebih ini, profesi sebagai tukang sadep ini, terbilang pekerjaan yang cukup berat baginya, karena, menghabiskan waktu yang banyak dan membutuhkan tenaga ekstra, mulai dari mengambil air aren dari pohonnya, menyediakan kayu bakar yang banyak dan memanaskannya (masak) hingga menjadi gula merah. Ketika ditanya, kapan profesi ini mulai dilakoninya?  “saya memulai pekerja`an ini, kira-kira semenjak tahun tujuh puluhan (70) yang lalu” jawabnya, jadi, hampir separuh dari hidupnya dijalani sebagai Tukang Sadep. mengenai berapa penghasilannya,  Tuak Mali asal Seraye, Desa Bengkaung ini enggan mengutaraknnya, akan tetapi dia mengatakan “pohon yang diambil airnya untuk dibuat jadi gula merah, bukan miliknya, melainkan milik orang lain”, jadi dia hanya mengambil upah dari sebagian hasil yang didapatkannya “ tapi mule ye pegawean te” imbuhnya dalam bahasa sasak (memang itu pekerjaan saya), lelah dan letih menjadi temanya sehari-hari namun, seperti itulah bapak yang seneng menggunakan peci hitam ini mendapatkan rupiah.
Jadi, bisa dibayangkangkan berapa rupiah yang bisa didapatkan dari profesi yang dilakoninya, apakah menurut kita itu akan cukup? Entahlah, tapi, itulah sosok Tuak Mali, walaupun dengan segala keterbatasan yang ada pada dirinya, dengan penghasilan yang bisa dikatakan jauh dari cukup, lantas semua itu, tak membuatnya menyerah, apalagi sampai berputus asa dalam menjalani hidup ini, bahkan senyum selalu menghiasi rona wajahnya dalam menghadapi kerasnya hidup ini. Semoga tulisan sedikit  mengenai Tuak Mali ini bisa jadikan ibroh buat kita, sehingga kita, selalu bisa bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT, tetap semangat tanpa pernah menyerah (fight and never give up), dan selalu optimis, hiduppun akan terasa indah “There is a will, there is a way” disetiap ada kemauan di situ ada jalan, ungkap pepatah Barat.